ITS diisukan menjadi kampus BHP. Siapkah mahasiswa ITS menghadapinya?Menolak atau menerima?
Klik untuk memilih tab akhir
Isi Tab 2
Isi Tab 2

Rabu, 13 Juni 2012

PRAGMATIK DAN LINGKUPNYA 

 Istilah pragmatik sebagaimana kita kenal saat ini dapat ditelusuri melalui nama seorang filosof Charles Morris (1938) yang mengolah kembali pemikiran para filosof pendahulunya (Locke dan Pierce), mengenai ilmu tanda atau semiotik (semiotics). Dikatakan oleh Morris bahwa semiotik memiliki tiga cabang kajian, yaitu sintaksis (syntax), semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis adalah kajian tentang hubungan formal antar tanda; semantik adalah kajian tentang hubungan tanda dengan objek tanda tersebut (designata); dan pragmatik adalah kajian tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda itu (Levinson, 1985: 1; Nababan, 1987: 1; Purwo, 1990: 11; Wijana, 1996: 5).
Meskipun semantik dan pragmatik sama-sama berurusan dengan makna, namun keduanya memiliki perbedaan. Semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic). Dengan demikian, makna dalam pragmatik diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam bahasa tertentu terpisah dari situasi, penutur, dan petutur (Leech, 1983: 8).
Semantik sebagai salah satu cabang (linguistik mengkaji makna bahasa (linguistic meaning, linguistic sense) secara internal, sedangkan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna penutur (speaker meaning, speaker sense) yang bersifat eksternal (Wijana, 1997: 7; 1999: 6). Semantik adalah telaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Pada dasarnya, semantik menelaah makna kata atau klausa tetapi makna yang bebas konteks (context-independent), sedangkan pragmatik menelaah makna yang terikat konteks (context-independent) (Purwo, 1990: 16).
Leech (1983: 1) menyatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu. Bila dikaitkan dengan semantik, studi semantik bersifat komplementer yang berarti bahwa studi tentang penggunaan bahasa dilakukan baik sebagai bagian terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai bagian yang melengkapinya. Levinson (1985: 1) menyatakan bahwa “pragmatics, the study of the relation of signs to interpreters“. Pengertian/pemahaman bahasa menunjuk pada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan/ ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungan dengan konteksnya. Sementara Parker (dalam Wijana, 1996: 2) menyatakan “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of languange use to communicate. Sebagai konklusi Purwo (1990: 16) menyatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik.
Dari definisi-definisi di atas terlihat bahwa pragmatik akan selalu berhubungan dengan penutur dan makna yang dipengaruhi oleh situasi. Oleh karenanya sebuah tuturan bisa memiliki makna yang berbeda dari makna secara semantis. Hal itu berarti bahwa makna dalam pragmatik bersifat eksternal karena dipengaruhi oleh konteks, sedangkan makna dalam semantik bersifat internal. Terjadinya perbedaan makna tersebut disebabkan oleh konteks yang digunakan. Konteks yang dimaksud adalah ihwal siapa yang mengatakan, kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat dalam tindakan mengutarakan kalimat (Purwo, 1990: 14).
Oller (dalam Yalden, 1985: 54) mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara bentuk linguistik dan konteks. Secara logis aliran pragmatik juga melibatkan sintaksis, suatu bentuk linguistik tertentu yang berhubungan dengan setting paralinguistik yang sering disebut sebagai cash-value dari suatu kata tertentu. Cash-value ditentukan oleh aturan-aturan kebahasaan sehubungan dengan konteks paralinguistik yang berlaku yang bisa memberi arah bagi penutur untuk menggunakan suatu istilah tertentu. Teori pragmatik -menekankan pada fungsi bahasa dalam komunikasi riil karena makna setiap kata akan sangat bergantung pada fungsi yang dimainkan oleh bahasa tersebut dalam komunikasi yang sedang berlangsung. Teori pragmatik fungsional ini lebih cenderung bersifat sosial daripada psikologis.
Berkait dengan pengertian pragmatik di antaranya ada rumusan-rumusan lain sebagai berikut : 1. “Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau yang dikodekan pada struktur bahasa.” (Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language) (Levinson, 1985: 9). 2. “Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar untuk mengartikan bahasa itu”. (Pragmatics is the study of the relations between language and contexts that are basic to an account of language understanding). (Levinson, 1985: 21). 3. “Pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai sehingga kalimat-¬kalimat tersebut dapat dimaknai.” (Pragmatics is the study of the ability of langunge users to pair sentences with the contexts in which they would be appropriate) (Levinson, 1985: 24).
Definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa yang menjadi fokus pragmatik adalah hubungan antara bahasa dan konteks. Konteks menurut Hymes meliputi enam dimensi. Pertama, tempat dan waktu (setting); seperti di ruang kelas, di pasar, stasiun, masjid, dan warung kopi. Kedua, pengguna bahasa (participants); seperti dokter dengan pasien, dosen dengan mahasiswa, penjual dengan pembeli, menteri dengan presiden, dan anak dengan orang tua. Ketiga, topik pembicaraan (content); seperti pendidikan, kebudayaan, politik, bahasa, dan olah raga. Keempat, tujuan (purpose); seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, dan menyuruh. Kelima, nada (key); seperti humor, marah, ironi, sarkastik, dan lemah lembut. Keenam, media/saluran (channel); seperti tatap muka, melalui telepon, melalui surat, melalui e-mail, dan melalui telegram (dalam Nurkamto, 2002: 2).
Sedangkan menurut Levinson (1985: 54) konteks di mana ujaran diproduksi, atau istilahnya adalah deixis, merupakan hal yang juga menjadi perhatian di dalam pragmatik. Ia memberikan contoh sebuah kalimat (Levinson, 1985: 54-55)yang kita baca dari tempelan yang ada di sebuah pintu kantor seseorang: I’ll be back in an hour.
Kalimat ini susah untuk diinterpretasi sebab kita tidak tahu kapan kalimat tersebut ditulis, sehingga kita pun tidak tahu kapan ia bakal kembali. Ia lalu memberikan contoh kalimat lainnya yang misalnya kita peroleh dari dalam sebuah botol yang terapung di laut: Meet me here a week from now with a stick about this big.
Kalimat tersebut bakal susah diinterpretasikan sebab informasi yang ada tidaklah mencukupi. Kita tidak tahu siapa yang bakal ditemui, di mana atau kapan bakal kita temui, atau seberapa besar tongkat yang harus kita bawa. Dari sinilah sebenarnya terpahami bahwa ujaran yang kita temui sehari-hari terikat kuat dengan aspek-aspek konteks ujaran. Levinson kemudian menjabarkan macam-macam deixis berdasarkan rujukannya atas tulisan Bühler, Frei, Fillmore, dan Lyons (1985: 61).
Macam-macam deixis tersebut adalah:
1. person deixis yang merujuk pada pemilihan pronomina yang bergantung pada konteks ujaran.
2. time deixis yang merujuk pada perbedaan antara saat pengujaran (moment of utterance) yang disebut juga dengan coding time (CT) dengan saat penerimaan suatu ujaran (moment of reception) atau juga diistilahkan dengan receiving time (RT).
3. place deixis atau space deixis merujuk pada kekhasan tempat yang menyebabkan perbedaan ujaran.
4. discourse deixis merujuk kepada penggunaan ungkapan yang mengikut pada konteks wacana sebelumnya.
5. social deixis yang merujuk kepada aspek-aspek ujaran yang terikat pada beberapa realitas situasi sosial menurut terjadinya ujaran.
Kemudian Levinson juga memaparkan lingkup pragmatik lainnya yaitu implicature. Implicature menempati posisi penting di dalam kajian pragmatik disebabkan oleh empat alasan (Levinson, 1985: 97-100). Alasan pertama adalah konsep implicature dapat menjelaskan fungsi makna dari fenomena linguistik bahwa penyusunan ujaran terkait dengan interaksi antarmanusia. Alasan kedua adalah bahwa implicature dapat menjelaskan interpretasi sebuah ajaran lebih daripada yang sebenarnya ‘dikatakan’. Alasan ketiga adalah bahwa implicature berkait dengan simplifikasi substansial berkait dengan baik struktur ujaran maupun konten deskripsi-deskripsi semantis. Alasan terakhir adalah konsep implicature menjadi penting di dalam beraneka rupa fakta mendasar mengenai bagaimana bahasa seharusnya diletakkan.
Konsep implicature sendiri merupakan konsep yang diusulkan oleh Herbert Paul Grice. Implicature secara istilah adalah suatu teori tentang bagaimana manusia menggunakan bahasa (Levinson, 1985: 101-102).
Grice mengajukan lima prinsip penggunaan bahasa, yaitu:
1. The co-operative principle; sebab penggunaan bahasa atau komunikasi adalah proses yang bukan satu arah, maka kontribusi yang memadai diperlukan. Partisipan harus saling berkerjasama di dalam percakapan.
2. The maxim of Quality; agar komunikasi berjalan baik maka: (i) jangan katakan apa yang diyakini salah, (ii) jangan katakan hal yang tidak mempunyai kecukupan bukti.
3. The maxim of Quantity; (i) kontribusi yang diberikan partisipan haruslah informatif dalam kerangka ketepatan komunikasi, (ii) jangan memberikan kontribusi yang melebihi kerangka kebutuhan informasi yang dibutuhkan di dalam komunikasi tersebut.
4. The maxim of Relevance; berikan kontribusi yang relevan.
5. The maxim of Manner; berikan kontribusi ujaran yang jelas dan dapat dipahami, serta secara khusus: (i) hindari obscurity (ketidakjelasan atau kesulitdimengertii), (ii) hindari ambiguity (ambiguitas), (iii) be brief (tidak usah bertele-tele), (iv) be orderly (runtut).
Konsep yang diusulkan oleh Grice sendiri mengalami kesulitan di dalam praktiknya karena tidak semua percakapan mengandung semua prinsip yang ia kemukakan. Meskipun demikian, sumbangsih Grice mengenai konsep ideal dari percakapan merupakan bahan kajian yang menarik di dalam pragmatik. Meskipun konsep tersebut dapat dikatakan berhasil digambarkan dalam film The Invention of Lying (2009). Hal lainnya yang juga menjadi objek kajian pragmatik adalah presupposition (persangkakiraan), speech acts (tindak tutur) yang diperkenalkan oleh John Langshaw Austin lalu kemudian dipermak oleh John Rogers Searle, dan conversation analysis. -
 DAFTAR PUSTAKA 
Leech, Geoffrey. 1983. The Principle of Pragmatics. London: Longman Group UK. Limited. Levinson, Stephen C. 1985. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud. Proyek Pengembangan Tenaga Kependidikan. Nurkamto, Joko. 2002. Pragmatik. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret. Purwo, Bambang K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius. Latsis, Paris K. et al (Produser); Ricky Gervais (Sutradara); & Matthew Robinson (Sutradara). 2009. The Invention of Lying. United States: Warner Bros. Pictures. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi. ________. 1997. Linguistik, Sosiolinguistik, dan Pragmatik. Yogyakarta: Makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra 26-27 Maret. ________. 1999. Semantik dan Pragmatik. Makalah Seminar Nasional Semantik I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Yalden, Janice. 1985. The Communicative Syllabus Evolution, Design, and Implementation. New York: Pergamon Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar