BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra (sansekerta: shastra) merupakan
bahasa serapan dari bahasa sansekerta sastra,
yang berarti “teks yang
mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas-yang berarti
“instruksi” atau “ajaaran”. Dalam bahasa Indonesia, kata ini bisa digunakan untu meruju kepada “kesusastraan”
atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Selain itu, dalam arti kesusastraan, sastra
bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (sastra oral). Di sini
sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang
dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau
pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah
geografis atau bahasa (Agni, 2008: 5).
Sastra
lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang
menggunakan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan
berkembang di masyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari,
jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang
tukang cerita pada para pendengarnya, guru pada para muridnya, ataupun antar
sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga
masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Sastra
lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul dan berkembang
di tengah kehidupan rakyat biasa.
Sastra
lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud
dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan
dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan
upacara yang bertujuan magis.
Sastra
lisan sangat digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan
bersama-sama karena mengandung gagasan,
pikiran, ajaran dan harapan masyarakat.
Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari
sastra lisan berdampak positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota
masyarakat. Dalam
konteks ini, bisa dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial,
disamping fungsi individual. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa memudarnya
tradisi sastra lisan di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah
memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya.
Secara
historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan
sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa,
nyanyi panjang, dodoi, koba dll. Gurindam, dongeng, legenda dan syair pada
awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya
mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di
istana–istana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga
gurindam, dongeng, legenda dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi
tulis. Tampaknya, ini adalah bagian dari wujud interaksi positif antara sastra
lisan dan tulisan. Dalam portal ini, berbagai jenis sastra lisan dibahas secara
lebih rinci.
Kajian mengenai folklor dan sastra lisan
sangaat menarik untuk diuraikan karena bermanfaat bagi dasar teori pengkajian sastra
melayu klasik di Indonesia. Folklor, sastra lisan, dan sastra melayu klasik
merupakan warisan turun-temurun yang senantiasa memberikan nilai pendidikan
dan nilai budaya bagi generasi muda
untuk mempertahankan jati diri daerah dan budayanya. Jati diri dan eksistensi
itu menuntut dan mempertahankkan
pelestarian dari generasi muda sekarang untuk lebih memasyarakatkan dan
mencintai budayanya tersebut. Alhasil,tentu saja hal ini mmenuntut kesiapan
mereka dalam mmenghargai dan mmenghormati budayanya tersebut.
Folklor hanya merupakan sebagian
kebudayaan, yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan. Itulah sebabnya ada yang menyebutnya
sebagai tradisi lisan. Menurut Danandjaja (dalam Rafiek, 2010: 52) tadisi lisan
hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat.
Sedangkan folklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat dan arsitektur
rakyat.
Teka-teki
dapat dianggap sebagai salah satu hasil sastra Melayu lama pada taraf
permulaan, tetapi dapat pula dianggap sebagai salah satu jenis folklor Melayu.
Sebagaimana kita ketahui folklor adalah cabang antropologi. Teka-teki dianggap
sebagai salah satu cerita lisan. Pada kesempatan ini pembicaraan mengenai
teka-teki ini dititikberatkan kepada cirinya sebagai salah satu hasil sastra.
1.2 Tujuan
Masalah
yang dibahas dalam makalah ini adalah teka-teki dalam sastra melayu klasik.
1.3 Masalah
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah
untuk mendeskripsikan
teka-teki dalam sastra melayu klasik.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat
diperoleh dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Penulis
dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang teka-teki dalam sastra
melayu klasik
2. Pembaca
dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang teka-teki dalam sastra
melayu klasik.
3. Memberikan sumbangan informasi bagi
penulis dalam membuat sebuah tulisan khususnya tulisan tentang sastra melayu
klasik.
1.5 Ruang Lingkup
Makalah ini
hanya membahas tentang teka-teki
dalam sastra melayu klasik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Teka-Teki
Sebagaimana
kita ketahui dalam teka-teki itu isinya atau maksudnya tidak dikemukakan secara langsung tetapi disuruh terka, disarankan atau disembunyikan.
Sehubungan
dengan ini, untuk menyatakan maksud secara tidak langsung seperti dalam
teka-teki ini, dijumpai pula dalam masyarakat Melayu itu kebiasaan
mempergunakan lambang, misalnya bunga kamboja lambang kematian, buah delima
wanita cantik, peria pahit berlambang tidak senang, jeruk masam tidak menerima
pinangan. Dalam sejarah Melayu cerita ke-5 misalnya, dijumpai suatu perlambang
yang baik. Batara Majapahit mengirim utusan ke Singapura. Utusan itu membawa
serpihan kayu yang panjang digulung seperti subang wanita untuk hadiah dengan
pertanyaan dalam surat, “Adakah di Singapura utas yang pandai demikian?” Raja
Melayu beranggapan bahwa orang di Singapura disamakan dengan wanita. Maka
utusan itu dicukur kepalanya. Bahwa orang Singapura akan menggunduli
orang-orang Majapahit (Situmorang,1958:45-47).
Demikianlah
dalam kesusastraan Melayu acapkali apa yang dimaksudkan itu tidak diucapkan
dengan kata-kata yang tepat tetapi dikatakan dengan sajak atau dengan kiasan
untuk disuruh terka dan artikan. Acapkali hal yang demikian itu berupa
permainan dan godaan, pertunjukan kepandaian dan kegemaran. Seringkali pula hal
itu dilakukan untuk memelihara perasaan orang lain untuk menakuti pembalasannya
(Hooykas, 1952:3).
Maksud
atau arti kalimat sering disembunyikan dengan kata-kata dalam suara yang sama.
Kekasih diucapkan selasih, hati disembunyikan dalam kata jati. Dengan demikian
lalu digubah ungkapan-ungkapan yang tersembunyi di dalamnya. Bentuk seperti
inilah yang menimbulkan teka-teki.
Yang
dimaksud dengan teka-teki sebagai hasil karya sastra di sini ialah teka-teki
yang disusun dengan bahasa sastra. Dengan kata lain, tidak hanya isi atau
maksud teka-teki itu saja yang dipentingkan, tetapi juga seni bahasanya.
Winstedt juga menggolongkan teka-teki ini dalam dua bagian yaitu teka-teki yang
bernilai sastra dan yang bukan sastra. Sebagai contoh teka-teki yang tidak bernilai
sastra menurut Winstedt misalnya: “Tumbuhan apakah yang mempunyai daun seperti
pedang dan buahnya seperti gong.” Jawabanya: nenas (Winstedt, 1939:3).
Jenis
teka-teki seperti ini telah dikumpulkan oleh O.T. Dussek dalam bukunya Teka-teki (Dussek, 1918). Dalam buku ini
dijumpai bermacam-macam teka-teki dalam lingkungan dunia tumbuh-tumbuhan,
senjata, alat-alat musik, binatang, alam, tentang kelahiran, perkawinan,
kematian dan sebagainya. Baiklah kita ambil beberapa contoh teka-teki yang
terdapat dalam buku ini, misalnya:
“Ketika
kecil pakai baju hijau, sudah besar pakai pakai baju kesumba, dari kecil baju
hijau, sudah besar baju merah. Luarnya surga, dalamnya neraka.” (Dussek,
1918:1).
Jawabnya:
cili-(lombok)-lada
Teka-teki tentang laut misalnya:
“Ada padang tak berumput?”
Kita tak suruh,
menghempaskan diri, disuruh menghempaskan diri (Dussek,
1918:55).
Jawabnya:
laut
Sedang teka-teki
yang bernilai sastra menurut Winstedt antara lain adalah seperti berikut.
“Gendang gendut
tali kecapi,” maksudnya kenyang perut suka hati. “Sarang semut di tanah gelap,”
maksudnya, orang selimut lalu lelap. Di sini dijumpai persamaan bunyi asonasi
dan pemilihan kata-kata (Winstedt, 1939:3). Kata-kata yang dimaksud
disembunyikan dalam kata-kata yang bersuara sama.
2.2 Penutur
Teka-Teki
Di dalam penelitian ini pembicaraan mengenai penutur
teka-teki di dalam masyarakat dibagi atas tingkatan usia, tingkatan sosial, dan
tingkatan pendidikan. Di dalam masyarakat, penutur teka-teki tidak terbatas pada tingkatan
usia tertentu. Semua usia, mulai dari usia anak-anak sampai dewasa menjadi
bagian dari penutur teka-teki ini. Walaupun dituturkan oleh semua kalangan usia,
anak-anak merupakan penutur terbanyak. Pada usia ini pula berbagai teka-teki mereka kuasai. Seiring dengan
pertambahan usia, teka-teki yang mereka kuasai akan semakin
sedikit. Hal tersebut dikarenakan teka-teki itu sudah semakin jarang atau bahkan tidak pernah lagi
dimainkan atau dituturkan.
Dalam penuturan teka-teki, tidak terdapat perbedaan antara
masyarakat yang dapat dikatakan sebagai kelas atas ataupun masyarakat kelas
bawah. Mereka sama-sama penutur teka-teki yang bentuknya tidak berbeda.Penutur
teka-teki tidak dibedakan atas tingkatan
pendidikan yang dimilikinya. Pada tingkatan ini perbedaan hanya ditemukan pada
pembuatan teka-teki yang baru. Biasanya karena pengetahuan dan wawasan yang
semakin luas, konsep, dan benda-benda sekitar yang dijadikan teka-teki juga
semakin beragam dan kompleks. Akan tetapi, pada akhirnya teka-teki yang dibuat
oleh orang terpelajar pun akan tersebar pada masyarakat yang tidak
berpendidikan.
2.3 Fungsi
Teka-teki dalam Masyarakat
Di dalam masyarakat teka-teki mempunyai fungsi seperti di bawah
ini:
1.
Berpikir dan Menyampaikan Pendidikan
Teka-teki
terdiri atas dua bagian penting, yaitu bagian pertanyaan (topic) dan bagian
jawaban (referent). Kedua bagian ini dapat dilihat hubungannya secara langsung,
yaitu ketika teka-teki tersebut bersifat harfiah. Akan tetapi, seringkali pula
teka-teki tersebut tidak dapat dilihat hubungannya secara langsung karena
bersifat metaforis.
Teka-teki
yang bersifat harfiah akan lebih mudah mencari jawabannya dibandingkan
teka-teki yang bersifat metaforis. Akan tetapi, kedua bentuk teka-teki tersebut
tetap saja memerlukan pemikiran untuk menemukan jawabannya. Bermain teka-teki menuntut para
penutur dan penjawabnya untuk berpikir. Penutur atau orang yang memberikan
pertanyaan teka-teki akan berusaha membuat teka-tekinya sulit dijawab oleh
penjawab. Mereka akan mendapatkan kepuasan ketika teka-tekinya tidak dapat
terjawab.
Sebagian
besar teka-teki yang ada di dalam masyarakat mempunyai jawaban yang berupa benda-benda
atau hal-hal yang ada di dalam lingkungan mereka. Dengan demikian, masyarakat,
terutama anak-anak akan dibimbing untuk mengetahui, misalnya ciri-ciri
benda-benda di sekitar mereka melalui teka-teki.
dilaleng batang engka daun
Dilaleng daun engka isi
‘Dalam
batang ada daun dalam
daun ada isi’
(Hamidy,
1995:173)
Jawaban
teka-teki di atas adalah lemang. Lemang
merupakan salah satu makanan khas yang terbuat dari beras ketan yang dicampur
dengan santan lalu dimasukkan ke dalam bambu yang sudah dialas dengan daun
pisang dan kemudian didiang dalam jarak tertentu.
indo majjai, ambe mattole
‘Emak
menjahit, bapak merokok
Jawab: kareta api ‘kereta api’
Tidak hanya benda atau hal-hal yang dekat dengan mereka,
melalui teka-teki mereka juga mendapatkan
pengetahuan dan wawasan baru yang asing atau tidak akrab dengan mereka, seperti
jawaban teka-teki di atas. Kereta api merupakan
alat transportasi yang cukup canggih yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat.
2.
Hiburan
Waktu
pelaksanaan bermain teka-teki ini cenderung pada waktu-waktu senggang atau sebagai
“perintang waktu”. Oleh karena itu, ada kecenderungan fungsi teka-teki lebih bersifat hiburan dan
pengisi waktu. Hal ini akan terlihat jelas pada teka-teki yang isinya terkesan bermain-main
saja.
3.
Menggoda
Di
dalam masyarakat , teka-teki juga berfungsi untuk menggoda orang lain. Teka-teki dengan fungsi ini berhubungan dengan
pemikiran orang mengenai sesuatu yang porno atau cabul, seperti seks.
Siruntu bulu sipada bulu, tabbe pikkiranna
‘beradu
bulu sama bulu, hilang akal’
Jawab: ‘Orang tertidur, bulu mata
bagian atas dan bawah beradu’
(Hamidy, 1995:172)
(Hamidy, 1995:172)
Orang
berpikir jawaban teka-teki tersebut berhubungan dengan sesuatu yang porno.
Pernyataan baradu bulu samo bulu, ilang akal ‘beradu bulu sama bulu, membuat
orang mengasosiasikannya dengan kondisi orang yang sedang bersetubuh. Apalagi
kemudian ditambah dengan pernyataan hilang akal yang membuat seolah asosiasi
tersebut benar. Padahal jawabannya adalah orang yang tertidur. Teka-teki yang membuat orang berpikir
“jorok” tersebut disengaja untuk menggoda penerka dan orang-orang yang
mendengar teka-teki ini. Tujuan ini akan lebih
tercapai apabila diajukan kepada seorang gadis.
2.4
Bahasa Teka-teki
1.
Kata Penanya dalam Teka-teki
Teka-teki
merupakan permainan kata-kata yang membutuhkan jawaban. Oleh karena itu,
sebagian besar teka-teki mengandung kata penanya. Di dalam teka-teki yang
terdapat di Kuantan Singingi, kata penanya yang sering digunakan adalah kata
penanya siapo,‘siapa‘apa’.
a.
Iga’siapa’
Salah
satu kata penanya yang digunakan di dalam teka-teki adalah kata tanya iga ‘siapa’. Kadang kata siapa ini bervariasi, kata penanya yang
menanyakan atau merujuk pada orang.
Iga materru makatenning ulunna presiden, iga tu?
‘Siapa
yang berani memegang kepala presiden
Siapa
itu?’
b.
Aga’apa’
Kata
penanya aga
‘apa’ dipakai untuk menanyakan barang atau benda. Di dalam teka-teki apabila terdapat kata penanya ini berarti
jawaban teka-teki yang diminta adalah berupa barang atau benda.
Aga lokka tega mattiwi bolae?
‘Apa
yang kemana pergi membawa rumah?’
Ada
pula teka-teki yang diawali dengan cerita
terlebih dahulu. Setelah itu, pada kalimat berikutnya muncullah kalimat tanya
yang berhubungan dengan cerita yang disebutkan di muka.
wae,wae
aga dena bisa dippattamaki dilaleng botolo?
‘Air,
air apa yang tidak bisa dimasukkan ke dalam botol?’
‘Apa agaknya itu/ apa kira-kira itu?’
‘Apa agaknya itu/ apa kira-kira itu?’
Contoh-contoh
di atas tidak menjelaskan berapa jumlah si penerka teka-teki. Dengan demikian,
si penerka dapat berjumlah satu orang, tetapi dapat pula lebih. Namun, pada teka-teki
berikut, kata tanya aga
‘apa’ diikuti kata ganti yang menunjukkan bahwa si penerka teka-teki berjumlah
banyak, minimal dua orang.
2.5
Penggunaan Bahasa Literal dan Bahasa
Metaforis
Bahasa
yang digunakan di dalam teka-teki dapat bersifat literal (harfiah), tetapi dapat pula
bersifat metaforis (kiasan). Hal tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut.
1.
Bahasa Literal
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:679) literer adalah ‘berhubungan
dengan tradisi tulis’. Adapun bahasa literer dapat diartikan sebagai bahasa yang
berhubungan dengan bahasa tulis. Penggunaan bahasa ini berimplikasi pada makna
kata atau kalimat yang bersifat literal pula, yaitu mengartikan sesuai dengan
apa yang tertulis. Beberapa teka-teki menggunakan bahasa
jenis ini.
Diteppu
ciceng wedding diandre
Diteppu dua dena wedding diandre
‘Disebut
sekali boleh di makan’
‘Disebut
dua kali tidak bisa dimakan’
Pertanyaan
disebut sekali boleh dimakan mempunyai jawaban
kacang. Sedangkan pertanyaan kedua disebut dua kali bisa dimakan mempunyai jawaban
kacang-kacang. Baik pertanyaan, maupun jawaban di atas mengandung makna literal
karena keduanya mempunyai makna apa adanya yang sebenarnya.
2.
Bahasa Metaforis
Orang
Melayu adalah orang yang cenderung berpikir metaforis (Hamidy, 2001:14). Hal
ini disebabkan sifat orang Melayu yang cenderung mengemukakan sifat malu.
Dengan demikian, mereka lebih suka mengatakan sesuatu secara tidak langsung dan
mempergunakan perlambang-perlambang dan kiasan-kiasan untuk mengungkapkan
perasaan atau pikiran mereka. Hal tersebut terlihat pula di dalam
teka-teki. Penggunaan bahasa yang metaforis
pada sebagian besar teka-teki yang terkumpul di dalam penelitian ini sangat menonjol.
Pak, pak tendrei/tennei posi iyya
Iyya eloko tuo
‘Pak,
pak tekan/pencet pusat saya
Saya
mau hidup’
Teka-teki di atas menggunakan bahasa yang
metaforis. Masyarakat Melayu membuat pertanyaan teka-teki yang mempunyai jawaban senter
tersebut dengan mempergunakan kiasan. Tombol yang ada pada senter dianggap poci ‘pusat’. Sementara nyala senter
digambarkan sebagai keinginan sesuatu itu untuk hidup. Penggunaan kata “hidup”
di dalam teka-teki tersebut berdasarkan diksi yang
biasa digunakan masyarakat Melayu, yang memilih kata hidup untuk kata menyala pada lampu atau
senter.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
.
Teka-teki dapat
dianggap sebagai salah satu hasil sastra Melayu lama pada taraf permulaan,
tetapi dapat pula dianggap sebagai salah satu jenis folklor Melayu. Sebagaimana
kita ketahui folklor adalah cabang antropologi. Teka-teki dianggap sebagai
salah satu cerita lisan. Pada kesempatan ini pembicaraan mengenai teka-teki ini
dititikberatkan kepada cirinya sebagai salah satu hasil sastra.
Berdasarkan uraian
di atas jelaslah bahwa teka-teki merupakan salah satu hasil karya sastra
Indonesia lama yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Teka-teki ini disusun
dalam berbagai lapangan dan persoalan. Dengan demikian teka-teki ini cukup
populer dan digemari oleh rakyat.
3.2 Saran
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan maka dari
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca ataupun dosen
pembimbing, agar kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi dalam membuat makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Agni, Binar.
2008. Sastra Indonesia Lengkap, Pantun,
Puisi, Majas, Peribahasa, Kata Mutiara. Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Dussek, O.T. 1918. “Teka-teki”.(part I). Malay Literature Series 1
(2).
Djamaris, Edwar. 1993. Menggalih Khazanah Sastra Melayu Klasik ( Sastra Indonesia Lama). Jakarta: Balai
Pustaka.
Rafiek. 2010. Teori
Sastra, Kajian dan Praktik. Bandung: PT Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar