ITS diisukan menjadi kampus BHP. Siapkah mahasiswa ITS menghadapinya?Menolak atau menerima?
Klik untuk memilih tab akhir
Isi Tab 2
Isi Tab 2

Selasa, 05 Juni 2012

sastra daerah "teka-teki bugis"


 BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Sastra (sansekerta: shastra) merupakan bahasa serapan dari bahasa sansekerta sastra,  yang  berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas-yang berarti “instruksi” atau “ajaaran”. Dalam bahasa Indonesia, kata ini bisa  digunakan untu meruju kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Selain itu, dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman  atau  pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa (Agni, 2008: 5).
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, guru pada para muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa. Sastra lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan upacara yang bertujuan magis.
Sastra lisan sangat digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat. Dalam konteks ini, bisa dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial, disamping fungsi individual. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi sastra lisan di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya.
Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi, koba dll. Gurindam, dongeng, legenda dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di istana–istana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga gurindam, dongeng, legenda dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis. Tampaknya, ini adalah bagian dari wujud interaksi positif antara sastra lisan dan tulisan. Dalam portal ini, berbagai jenis sastra lisan dibahas secara lebih rinci.
Kajian mengenai folklor dan sastra lisan sangaat menarik untuk diuraikan karena bermanfaat bagi dasar teori pengkajian sastra melayu klasik di Indonesia. Folklor,  sastra lisan, dan sastra melayu klasik merupakan warisan turun-temurun yang senantiasa memberikan nilai pendidikan dan  nilai budaya bagi generasi muda untuk mempertahankan jati diri daerah dan budayanya. Jati diri dan eksistensi itu menuntut  dan mempertahankkan pelestarian dari generasi muda sekarang untuk lebih memasyarakatkan dan mencintai budayanya tersebut. Alhasil,tentu saja hal ini mmenuntut kesiapan mereka dalam mmenghargai dan mmenghormati budayanya tersebut.
Folklor hanya merupakan sebagian kebudayaan, yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan. Itulah sebabnya ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan. Menurut Danandjaja (dalam Rafiek, 2010: 52) tadisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat.
Teka-teki dapat dianggap sebagai salah satu hasil sastra Melayu lama pada taraf permulaan, tetapi dapat pula dianggap sebagai salah satu jenis folklor Melayu. Sebagaimana kita ketahui folklor adalah cabang antropologi. Teka-teki dianggap sebagai salah satu cerita lisan. Pada kesempatan ini pembicaraan mengenai teka-teki ini dititikberatkan kepada cirinya sebagai salah satu hasil sastra.

1.2  Tujuan
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah teka-teki dalam sastra melayu klasik.

1.3  Masalah
Tujuan  yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah untuk mendeskripsikan teka-teki dalam sastra melayu klasik.

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang teka-teki dalam sastra melayu klasik
2.      Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang teka-teki dalam sastra melayu klasik.
3.      Memberikan sumbangan informasi bagi penulis dalam membuat sebuah tulisan khususnya tulisan tentang sastra melayu klasik.
1.5 Ruang Lingkup
Makalah ini hanya membahas tentang teka-teki dalam sastra melayu klasik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Teka-Teki

Sebagaimana kita ketahui dalam teka-teki itu isinya atau maksudnya tidak dikemukakan secara langsung tetapi disuruh terka, disarankan atau disembunyikan.
Sehubungan dengan ini, untuk menyatakan maksud secara tidak langsung seperti dalam teka-teki ini, dijumpai pula dalam masyarakat Melayu itu kebiasaan mempergunakan lambang, misalnya bunga kamboja lambang kematian, buah delima wanita cantik, peria pahit berlambang tidak senang, jeruk masam tidak menerima pinangan. Dalam sejarah Melayu cerita ke-5 misalnya, dijumpai suatu perlambang yang baik. Batara Majapahit mengirim utusan ke Singapura. Utusan itu membawa serpihan kayu yang panjang digulung seperti subang wanita untuk hadiah dengan pertanyaan dalam surat, “Adakah di Singapura utas yang pandai demikian?” Raja Melayu beranggapan bahwa orang di Singapura disamakan dengan wanita. Maka utusan itu dicukur kepalanya. Bahwa orang Singapura akan menggunduli orang-orang Majapahit (Situmorang,1958:45-47).
Demikianlah dalam kesusastraan Melayu acapkali apa yang dimaksudkan itu tidak diucapkan dengan kata-kata yang tepat tetapi dikatakan dengan sajak atau dengan kiasan untuk disuruh terka dan artikan. Acapkali hal yang demikian itu berupa permainan dan godaan, pertunjukan kepandaian dan kegemaran. Seringkali pula hal itu dilakukan untuk memelihara perasaan orang lain untuk menakuti pembalasannya (Hooykas, 1952:3).
Maksud atau arti kalimat sering disembunyikan dengan kata-kata dalam suara yang sama. Kekasih diucapkan selasih, hati disembunyikan dalam kata jati. Dengan demikian lalu digubah ungkapan-ungkapan yang tersembunyi di dalamnya. Bentuk seperti inilah yang menimbulkan teka-teki.
Yang dimaksud dengan teka-teki sebagai hasil karya sastra di sini ialah teka-teki yang disusun dengan bahasa sastra. Dengan kata lain, tidak hanya isi atau maksud teka-teki itu saja yang dipentingkan, tetapi juga seni bahasanya. Winstedt juga menggolongkan teka-teki ini dalam dua bagian yaitu teka-teki yang bernilai sastra dan yang bukan sastra. Sebagai contoh teka-teki yang tidak bernilai sastra menurut Winstedt misalnya: “Tumbuhan apakah yang mempunyai daun seperti pedang dan buahnya seperti gong.” Jawabanya: nenas (Winstedt, 1939:3).
Jenis teka-teki seperti ini telah dikumpulkan oleh O.T. Dussek dalam bukunya Teka-teki (Dussek, 1918). Dalam buku ini dijumpai bermacam-macam teka-teki dalam lingkungan dunia tumbuh-tumbuhan, senjata, alat-alat musik, binatang, alam, tentang kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya. Baiklah kita ambil beberapa contoh teka-teki yang terdapat dalam buku ini, misalnya:
“Ketika kecil pakai baju hijau, sudah besar pakai pakai baju kesumba, dari kecil baju hijau, sudah besar baju merah. Luarnya surga, dalamnya neraka.” (Dussek, 1918:1).
Jawabnya: cili-(lombok)-lada
Teka-teki tentang laut misalnya:
“Ada padang tak berumput?”
Kita tak suruh, menghempaskan diri, disuruh menghempaskan diri (Dussek, 1918:55).
Jawabnya: laut
Sedang teka-teki yang bernilai sastra menurut Winstedt antara lain adalah seperti berikut.
“Gendang gendut tali kecapi,” maksudnya kenyang perut suka hati. “Sarang semut di tanah gelap,” maksudnya, orang selimut lalu lelap. Di sini dijumpai persamaan bunyi asonasi dan pemilihan kata-kata (Winstedt, 1939:3). Kata-kata yang dimaksud disembunyikan dalam kata-kata yang bersuara sama.




2.2  Penutur Teka-Teki
Di dalam penelitian ini pembicaraan mengenai penutur teka-teki di dalam masyarakat dibagi atas tingkatan usia, tingkatan sosial, dan tingkatan pendidikan. Di dalam masyarakat, penutur teka-teki tidak terbatas pada tingkatan usia tertentu. Semua usia, mulai dari usia anak-anak sampai dewasa menjadi bagian dari penutur teka-teki ini. Walaupun dituturkan oleh semua kalangan usia, anak-anak merupakan penutur terbanyak. Pada usia ini pula berbagai teka-teki mereka kuasai. Seiring dengan pertambahan usia, teka-teki yang mereka kuasai akan semakin sedikit. Hal tersebut dikarenakan teka-teki itu sudah semakin jarang atau bahkan tidak pernah lagi dimainkan atau dituturkan.
Dalam penuturan teka-teki, tidak terdapat perbedaan antara masyarakat yang dapat dikatakan sebagai kelas atas ataupun masyarakat kelas bawah. Mereka sama-sama penutur teka-teki yang bentuknya tidak berbeda.Penutur teka-teki  tidak dibedakan atas tingkatan pendidikan yang dimilikinya. Pada tingkatan ini perbedaan hanya ditemukan pada pembuatan teka-teki yang baru. Biasanya karena pengetahuan dan wawasan yang semakin luas, konsep, dan benda-benda sekitar yang dijadikan teka-teki juga semakin beragam dan kompleks. Akan tetapi, pada akhirnya teka-teki yang dibuat oleh orang terpelajar pun akan tersebar pada masyarakat yang tidak berpendidikan.

2.3  Fungsi Teka-teki dalam Masyarakat
Di dalam masyarakat  teka-teki mempunyai fungsi seperti di bawah ini:
1.      Berpikir dan Menyampaikan Pendidikan
Teka-teki terdiri atas dua bagian penting, yaitu bagian pertanyaan (topic) dan bagian jawaban (referent). Kedua bagian ini dapat dilihat hubungannya secara langsung, yaitu ketika teka-teki tersebut bersifat harfiah. Akan tetapi, seringkali pula teka-teki tersebut tidak dapat dilihat hubungannya secara langsung karena bersifat metaforis.
Teka-teki yang bersifat harfiah akan lebih mudah mencari jawabannya dibandingkan teka-teki yang bersifat metaforis. Akan tetapi, kedua bentuk teka-teki tersebut tetap saja memerlukan pemikiran untuk menemukan jawabannya. Bermain teka-teki menuntut para penutur dan penjawabnya untuk berpikir. Penutur atau orang yang memberikan pertanyaan teka-teki akan berusaha membuat teka-tekinya sulit dijawab oleh penjawab. Mereka akan mendapatkan kepuasan ketika teka-tekinya tidak dapat terjawab.
Sebagian besar teka-teki yang ada di dalam masyarakat  mempunyai jawaban yang berupa benda-benda atau hal-hal yang ada di dalam lingkungan mereka. Dengan demikian, masyarakat, terutama anak-anak akan dibimbing untuk mengetahui, misalnya ciri-ciri benda-benda di sekitar mereka melalui teka-teki.
dilaleng batang engka daun
Dilaleng daun engka isi
‘Dalam batang ada daun dalam daun ada isi’
(Hamidy, 1995:173)
Jawaban teka-teki di atas adalah lemang. Lemang merupakan salah satu makanan khas yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan santan lalu dimasukkan ke dalam bambu yang sudah dialas dengan daun pisang dan kemudian didiang dalam jarak tertentu.
indo majjai, ambe mattole
‘Emak menjahit, bapak merokok
Jawab: kareta api ‘kereta api’
Tidak hanya benda atau hal-hal yang dekat dengan mereka, melalui teka-teki mereka juga mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru yang asing atau tidak akrab dengan mereka, seperti jawaban teka-teki di atas. Kereta api merupakan alat transportasi yang cukup canggih yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat.
2.      Hiburan
Waktu pelaksanaan bermain teka-teki ini cenderung pada waktu-waktu senggang atau sebagai “perintang waktu”. Oleh karena itu, ada kecenderungan fungsi teka-teki lebih bersifat hiburan dan pengisi waktu. Hal ini akan terlihat jelas pada teka-teki yang isinya terkesan bermain-main saja.
3.       Menggoda
Di dalam masyarakat , teka-teki juga berfungsi untuk menggoda orang lain. Teka-teki dengan fungsi ini berhubungan dengan pemikiran orang mengenai sesuatu yang porno atau cabul, seperti seks.
Siruntu bulu sipada bulu, tabbe pikkiranna
‘beradu bulu sama bulu, hilang akal’
Jawab: ‘Orang tertidur, bulu mata bagian atas dan bawah beradu’
(Hamidy, 1995:172)
Orang berpikir jawaban teka-teki tersebut berhubungan dengan sesuatu yang porno. Pernyataan baradu bulu samo bulu, ilang akal ‘beradu bulu sama bulu, membuat orang mengasosiasikannya dengan kondisi orang yang sedang bersetubuh. Apalagi kemudian ditambah dengan pernyataan hilang akal yang membuat seolah asosiasi tersebut benar. Padahal jawabannya adalah orang yang tertidur. Teka-teki yang membuat orang berpikir “jorok” tersebut disengaja untuk menggoda penerka dan orang-orang yang mendengar teka-teki ini. Tujuan ini akan lebih tercapai apabila diajukan kepada seorang gadis.
2.4  Bahasa Teka-teki

1.      Kata Penanya dalam Teka-teki
Teka-teki merupakan permainan kata-kata yang membutuhkan jawaban. Oleh karena itu, sebagian besar teka-teki mengandung kata penanya. Di dalam teka-teki yang terdapat di Kuantan Singingi, kata penanya yang sering digunakan adalah kata penanya siapo,‘siapa‘apa’.
a.      Iga’siapa’
Salah satu kata penanya yang digunakan di dalam teka-teki  adalah kata tanya iga ‘siapa’. Kadang kata siapa ini bervariasi, kata penanya yang menanyakan atau merujuk pada orang.
Iga materru makatenning ulunna presiden, iga tu?
‘Siapa yang berani memegang kepala presiden
Siapa itu?’
b.      Aga’apa’
Kata penanya aga ‘apa’ dipakai untuk menanyakan barang atau benda. Di dalam teka-teki  apabila terdapat kata penanya ini berarti jawaban teka-teki yang diminta adalah berupa barang atau benda.
Aga lokka tega mattiwi bolae?
‘Apa yang kemana pergi membawa rumah?’
Ada pula teka-teki yang diawali dengan cerita terlebih dahulu. Setelah itu, pada kalimat berikutnya muncullah kalimat tanya yang berhubungan dengan cerita yang disebutkan di muka.
wae,wae aga dena bisa dippattamaki dilaleng botolo?
‘Air, air apa yang tidak bisa dimasukkan ke dalam botol?’
‘Apa agaknya itu/ apa kira-kira itu?’
Contoh-contoh di atas tidak menjelaskan berapa jumlah si penerka teka-teki. Dengan demikian, si penerka dapat berjumlah satu orang, tetapi dapat pula lebih. Namun, pada teka-teki berikut, kata tanya aga ‘apa’ diikuti kata ganti yang menunjukkan bahwa si penerka teka-teki berjumlah banyak, minimal dua orang.
2.5  Penggunaan Bahasa Literal dan Bahasa Metaforis
Bahasa yang digunakan di dalam teka-teki dapat bersifat literal (harfiah), tetapi dapat pula bersifat metaforis (kiasan). Hal tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut.
1.      Bahasa Literal
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:679) literer adalah ‘berhubungan dengan tradisi tulis’. Adapun bahasa literer dapat diartikan sebagai bahasa yang berhubungan dengan bahasa tulis. Penggunaan bahasa ini berimplikasi pada makna kata atau kalimat yang bersifat literal pula, yaitu mengartikan sesuai dengan apa yang tertulis. Beberapa teka-teki  menggunakan bahasa jenis ini.
Diteppu ciceng wedding diandre
Diteppu dua dena wedding diandre
‘Disebut sekali boleh di makan
Disebut dua kali tidak bisa dimakan’
Pertanyaan disebut sekali boleh dimakan  mempunyai jawaban kacang. Sedangkan pertanyaan kedua disebut dua kali bisa dimakan mempunyai jawaban kacang-kacang. Baik pertanyaan, maupun jawaban di atas mengandung makna literal karena keduanya mempunyai makna apa adanya yang sebenarnya.
2.      Bahasa Metaforis
Orang Melayu adalah orang yang cenderung berpikir metaforis (Hamidy, 2001:14). Hal ini disebabkan sifat orang Melayu yang cenderung mengemukakan sifat malu. Dengan demikian, mereka lebih suka mengatakan sesuatu secara tidak langsung dan mempergunakan perlambang-perlambang dan kiasan-kiasan untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran mereka. Hal tersebut terlihat pula di dalam teka-teki. Penggunaan bahasa yang metaforis pada sebagian besar teka-teki yang terkumpul di dalam penelitian ini sangat menonjol.
Pak, pak tendrei/tennei posi iyya
Iyya eloko tuo  
‘Pak, pak tekan/pencet pusat saya
Saya mau hidup’
Teka-teki di atas menggunakan bahasa yang metaforis. Masyarakat Melayu membuat pertanyaan teka-teki yang mempunyai jawaban senter tersebut dengan mempergunakan kiasan. Tombol yang ada pada senter dianggap poci ‘pusat’. Sementara nyala senter digambarkan sebagai keinginan sesuatu itu untuk hidup. Penggunaan kata “hidup” di dalam teka-teki tersebut berdasarkan diksi yang biasa digunakan masyarakat Melayu, yang memilih kata hidup untuk kata menyala pada lampu atau senter.

















BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan .

Teka-teki dapat dianggap sebagai salah satu hasil sastra Melayu lama pada taraf permulaan, tetapi dapat pula dianggap sebagai salah satu jenis folklor Melayu. Sebagaimana kita ketahui folklor adalah cabang antropologi. Teka-teki dianggap sebagai salah satu cerita lisan. Pada kesempatan ini pembicaraan mengenai teka-teki ini dititikberatkan kepada cirinya sebagai salah satu hasil sastra.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa teka-teki merupakan salah satu hasil karya sastra Indonesia lama yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Teka-teki ini disusun dalam berbagai lapangan dan persoalan. Dengan demikian teka-teki ini cukup populer dan digemari oleh rakyat.

3.2  Saran

Dalam makalah ini masih banyak kekurangan maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca ataupun dosen pembimbing, agar kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi dalam membuat makalah.












DAFTAR PUSTAKA

Agni, Binar. 2008. Sastra Indonesia Lengkap, Pantun, Puisi, Majas, Peribahasa, Kata Mutiara. Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Dussek, O.T. 1918. “Teka-teki”.(part I). Malay Literature Series 1 (2).                    
Djamaris, Edwar. 1993. Menggalih Khazanah Sastra Melayu Klasik ( Sastra     Indonesia Lama). Jakarta: Balai Pustaka.
Rafiek. 2010. Teori Sastra, Kajian dan Praktik. Bandung: PT Refika Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar